Perjalanan Sejarah dan Budaya Kota Lama Gresik Yang Pernah Dikenal Dunia
Selasa, 08 November 2011
Ada Kemesraan di Sudut Gresik
Pernahkah kalian datang ke suatu pengajian yang sangat tidak seragam? Tidak semuanya putih? Tidak semuanya berpeci? Tidak semuanya mengenakan jilbab? Tidak ada pembatas antara tempat duduk pria dan wanita? Bahkan bisa jadi tidak semua pemeluk agama Rasulullah SAW?
Selasa malam, 3 Agustus 2010, pukul 21:00 waktu setempat, desa Tenaru kecamatan Dreyo Rejo, Gresik, Jawa Timur diselenggarakan pengajian akbar bersama Cak Nun Kiai Kanjeng dengan tema “Sedekah Bumi dan HUT RI ke-65”. Acara yang berlangsung kurang lebih 4 jam ini merupakan puncak dari kegiatan Ruwatan Desa Tenaru, yang diadakan setiap tahun di bulan Ruwah dan telah berlangsung turun temurun di desa ini. Sedekah Bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan di antara sesama warga desa dan juga sebagai simbol rasa syukur atas kelimpahan rahmat dari Allah SWT.
Di tengah lapangan bola berumput di sekitar rumah penduduk, bercahayakan rembulan dan lampu-lampu penerang, dengan suasana khas pedesaan, di sudut Gresik, kemesraan ini hadir. Ditaksir sekitar 2 ribu insan yang memadati acara ini, terdiri dari semua tingkatan umur, balita, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan kakek-nenek. Mayoritas penduduk desa Tenaru dan sekitarnya, selebihnya adalah Jamaah Maiyah dari berbagai kota, termasuk saya di dalamnya. Kami semua duduk beralaskan tikar, berdekatan, dengan membawa keceriaannya masing-masing, dan tentu saja menjadi keceriaan bersama ketika kami telah meng”intim”.
Kalau dalam acara pengajian terlihat keseragaman, kekakuan, di mana ada pembatas antara saf pria dan wanita, kali ini kau tak akan mendapatinya. Semua berbaur, memanusiakan manusia, mesra dalam kebersamaan, duduk berdekatan untuk kesamaan niat yaitu memperoleh ilmu, silaturahmi, dan tentu saja memperoleh ridho Allah atas acara ini.
Acara dibuka dengan beberapa tembang yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng, semua jamaah yang hadir ikut bernyanyi dan bersolawat bersama-sama. Aku berada di antara mereka, duduk di antara penduduk desa Tenaru yang sangat antusias mengikuti jalannya acara. Tak berselang lama, Cak Nun hadir ketengah acara dengan sangat bersahaja, diikuti Kepala Desa dan Pak Camat. Cak Nun dengan piawainya menyapa jamaah yang datang, penuh kemesraan kata berbahasa jawa, begitu komunikatif, sehingga hadir gelak tawa yang begitu “dua arah”.
Selain sebagai pemberi tausyiah, ternyata Cak Nun-pun piawai membimbing jalannya acara. Dengan sangat santun beliau mempersilahkan pak camat dan pak Kades untuk sedikit memberikan kalimat pembuka. Pak Camat dalam kesempatannya menyampaikan terima kasih sebesar-besanya kepada seluruh insan yang ikut memeriahkan acara tahunan ini, semoga acara ini membawa kebaikan kepada kita semua. Pak Kades-pun tak mau ketinggalan, dalam “bagiannya”, beliau menyampaikan kegembiraan luar biasa atas terlaksananya acara ini, atas kesediaan Can Nun dan Kiai Kanjeng untuk ikut memeriahkan dan menghidupkan “Sedekah Bumi” ini.
Pak Kades menyampaikan bahwa tahun-tahun sebelumnya secara bergantian biasanya acara Sedekah Bumi ditutup dengan pengajian atau berbagai kesenian, sebut saja Ludruk, Wayang, dan Tayuban, tergantung keinginan warga. Dan biasanya selalu ada sedikit protes kecil kalau-kalau acaranya hanya pengajian, tidak menarik dibilangnya, protes kecil pula kalau-kalau ditutup dengan Tayuban, tidak agamis warga bilang. Ini semua karena warga desa Tenaru punyai seleranya sendiri-sendiri. Tahun ini mencoba menghadirkan keduanya, pengajian ia, kesenian ia. Dalam penutup “pembukaan”nya, Pak Kades meminta Cak Nun untuk sedikit menjelaskan kepada Warga Tenaru tentang hakekat Sedekah Bumi di lihat dari sudut pandang agama dan Budaya.
Oke, mari beranjak ke isi Tausyiah Mbah Nun.
“Kiai Kanjeng itu pengajian atau kesenian?” begitulah Cak Nun mulai menyapa (tentunya menggunakan bahasa jawa, yang tentunya pula saya jauh dari paham.. ). Adakah pengajian yang bebas dari kesenian? Kesenian itu apa? Pengajian itu apa?.
Kesenian itu adalah nada, irama, dan bunyi. Jadi kegiatan apapun yang mengandung salah satu unsur dari ketiganya sudah bisa disebut sebagai kesenian. Oke, masuk ke contoh: ketika melafazkan basmalah, disitu akan terdengar nada, irama, dan bunyi. Kesenian juga toh? Jadi pengajianpun tidak bisa dipisahkan dari unsur kesenian. Berbicarapun pasti bernada, berirama. Kalau berbicara cepat artinya iramanya cepat, begitu pula sebaliknya. Setiap saat tindakan kita itu mengandung kesenian. Kiai Kanjeng itu pengajian yang juga kesenian. Jadi kesenian itu tidak terbatas hanya pada yang kita sebut film dan ludruk. Yang tidak boleh dan harus dihindari itu adalah kesenian yang mengandung maksiat dan mudharat. “Mudharat dari kesenian yang harus dihindari”, Cak Nun menambahkan.
Lalu, apa itu pengajian?. Pengajian adalah salah satu kegiatan ibadah yang menghadirkan Allah SWT, Kanjeng Nabi, dan malaikat. Kesenianpun juga begitu bagi yang menyadarinya betul. Jadi, peristiwa apapun, kapanpun, dimanapun tidak bisa menghindar dari hadirnya Allah SWT. Misalkan sembahyang. Dalam sembahyang, kita menghadap Allah, Allah ada di hadapan kita, menghadirkan Allah sebagai pihak utama. Beda ketika kita di pasar berbelanja, Allah-pun hadir, tapi bukan pihak utama, bisa kedua, atau ketiga, bisa di samping kanan-kiri, atas, atau bawah. Tergantung niat dan kesadaran masing-masing manusia.
Dalam mengupas tema, Cak Nun mencoba memberikan pemahaman yang sederhana kepada jamaah tentang apa itu Sedekah Bumi, apa itu ruwatan desa. Ruwatan Desa adalah kegiatan memperbaharui pernikahan. Ada pembagian peran dan tugas antara manusia sebagai suami, dan bumi sebagai istri. Apa itu memperbaharui pernikahan?. Cak Nun menyampaikan bahwa ada 3 jenis pernikahan:
1. Pernikahan antara Gusti Allah dan MakhlukNYA. Gusti Allah itu suami, makhluk adalah istri. sebagai suami, Allah dengan murah hatinya telah memenuhi kebutuhan setiap mahkluk. diciptakannya tanah, gunung, laut, sungai, tanaman, agar makhluk mampu memanfaatkannya sebagai sumber penghidupan. Allah sediakan tanaman padi, agar manusia sebagai istri mampu mengubahnya menjadi pari, lalu gabah, kemudian nasi untuk dinikmati.
Begitu murahnya Allah sebagai suami, sehingga manusia (makhluk yang paling mulia) sebagai istri harus memenuhi kewajibannya memanfaatkan, menjaga, dan melestarikan apa-apa saja yang telah diamanatkanNYA. Manusia harus taat dan berkewajiban melayani suami yang telah menafkahinya dengan baik.
2. Pernikahan antara Pemerintah dan Rakyat. Pemerintah itu suami, sedangkan rakyat adalah istri. rakyat akan mampu menjalankan kewajibannya mentaati dan mengabdi kepada Pemerintah jikalau pemerintah sebagai suami mampu menjalankan peran dan tugasnya dengan baik. Pemerintah harus mampu memenuhi setiap fasilitas yang dibutuhkan rakyat sehingga rakyat akan dengan senang hati mengabdi kepada pemerintah. Alangkah bahagianya jika rakyat memiliki pemerintah/pemimpin yang mampu memenuhi tanggung jawabnya.
3. Pernikahan antara Manusia dan Bumi. manusia adalah suami, dan bumi adalah istri. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, sehingga manusia itu berperan sebagai suami yang bertanggung jawab atas apa-apa saja yang terjadi di muka bumi. ketika manusia mampu menjalankan perannya sebagai suami yang baik, bumi pun akan mampu memberikan manfaatnya kepada manusia. Jaga dan perihalah bumi, sehingga akan tercipta keharmonisan antara keduanya.
Sebagai penutup tausyiah, Cak Nun menyampaikan bahwa sebenarnya dalam hubungan pernikahan apapun, yang perlu dijaga adalah pembagian peran dan tugas antara suami dan istri. Suami dan istri menyadari akan kewajibannya masing-masing, sehingga insyaAllah, selamatlah kita di dunia dan akhirat.
Di penghujung acara, tepat pukul 12 malam waktu setempat, Cak Nun mempersilahkan semua jamaah untuk berdiri dan saling berdekatan, memejamkan mata, menghadirkan Allah dihadapan kita. Semua lampu padam, sholawat Sahibu baiti-pun bergema, dan jamaah larut dalam keheningannya masing-masing. Bukankah tidak ada hal di dunia ini yang melebihi mesranya hubungan antara makhluk dan penciptaNYA kawan?? (Ega Julaeha 12 October 2010 )
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/12/ada-kemesraan-di-sudut-gresik/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar/tanggapan anda?