Rabu, 10 November 2010

Gresik Kota Warung Kopi

Gresik dikenal pula sebagai Kota Pudak. Sebab, makanan yang disebut pudak itu memang asli Gresik. Tapi, Gresik sebetulnya layak pula disebut Kota Warung Kopi.



NONGKRONG di warung kopi//Ngomong sana dan sini. Pernah dengar jingle iklan sebuah produk kopi itu? Di Gresik, tradisi cangkruk di warung kopi sambil ngobrol ngalor ngidul seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun.

Sekarang tradisi cangkrukan di warung kopi (warkop) itu bertahan, bahkan berkembang. Ketua Dewan Kesenian Gresik (DKG) Kris Adji Abdul Wafiq bahkan meng­anggap Gresik tidak hanya layak disebut Kota Industri dan Kota Pudak, tapi juga Kota Warkop. ”Sebab, warkop di sini ribuan,” tutur se­niman lukis yang dikenal sebagai Kris Adji A.W. itu.


Dalam pandangan guru kesenian di SMA Nahdla­tul Ulama (NU) 1 Gresik tersebut, bertebarannya warkop itu tidak lepas dari tradisi pekerja industri rumah tangga yang pernah berkembang di Gresik. Sebelum berdiri berbagai pabrik, di beberapa daerah di kota Gresik sudah ada puluhan home industry kopiah, tas, dan konveksi (pakaian). Yang cukup dikenal, antara lain, Kroman, Kemuteran, Bedilan, Belandongan, dan Pekauman di Kecamatan Gresik. Para pekerja itu bekerja siang hingga subuh. Setelah itu, mereka tidur.

Dengan irama kerja begitu, ngopi di warkop lantas menjadi ”kewajiban”. Minum kopi dianggap dopping agar ta­­han melek hingga pagi. ”Mereka be­kerja sampai subuh, setelah itu tidur. Ba­ngun tidur, matahari sudah di ubun-ubun. Sebelum kem­bali bekerja, mereka ngopi,” papar Kris Adji A.W.

Bagi warga luar Gresik, kebiasaan ngopi masyarakat Kota Pudak itu, terutama ngopi pukul 09.00 hingga pukul 12.00, sempat memunculkan penilaian kurang sedap. Mereka menilai warga Gresik malas. ”Lumrah karena mereka memang tidak tahu. Siklus pekerja home industry waktu itu memang begitu. Siklus normal adalah pagi hingga sore bekerja, malam istirahat, tidur. Warga sini baru tidur setelah salat Subuh,” terangnya.

Fahrudin alias Ambon, 35, termasuk yang menjalani siklus tidak biasa tersebut. Warga Kelurahan Kroman itu me­ngatakan hampir saban hari tidur setelah subuh dan bangun sekitar pukul 11.00. “Tangi, ucek-ucek mri­pat ya ngopi (Begitu bangun, sambil mengucek mata, langsung ngopi),” kelakarnya.

Kini, di Gresik Kota yang meliputi Kecamatan Gresik dan Kebomas, penghobi cangkruk di warkop punya tempat fa­vorit masing-masing. Para lansia biasa ke warkop milik alm Cak Rokhim di belakang Masjid Jamik di Kelurahan Pe­kauman, Kecamatan Gresik.

Warung itu buka setelah subuh hingga pukul 10.00. Pelanggannya rata-rata berusia 45-60 tahun. Sebagian di an­tara mereka mengenakan sarung saat ngopi ke warkop yang terkenal dengan kopi kopyok (biji kopi kasar) dan teh rempah-rempah tersebut.

Di warung kopi Cak Rokhim, kopi yang disajikan selalu fresh. Tiap sore Suwito menggoreng tiga kilogram biji kopi, lalu menggilingnya untuk keperluan berjualan esok pagi. Dia menggiling kopi menjadi dua macam, bubuk halus dan kasar. Bubuk kasar untuk menyeduh kopi kopyok. Disebut begitu karena makin kopyok (diaduk) semakin terasa. Cara minum? Dituang ke piring kecil, lalu diseruput.

Warkop Cak Ri depan SLB Kemala Bhayangkari di Jalan Raya Randuagung, Kompleks Perumahan Randuagung, buka 24 jam nonstop. Konsumennya karyawan swasta, pegawai pemerintahan, dan siswa SMA. Warkop itu dilengkapi TV kabel.

Sekitar 300 meter di depan kantor unit BRI, ada warung Cak Dikin yang juga dilengkapi TV kabel. Warung ini buka pukul 06.00 hingga pukul 02.00. Pada malam, konsumennya anggota dewan, para kepala dinas, dan warga sekitar Jalan dr Wahidin Sudirohusodo, Kecamatan Kebomas.

Lalu, di samping kampus Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) ada warung milik Lamidi. Konsumennya pelajar, mahasiswa, wartawan, dan pim­pin­an serikat pekerja. Warung itu buka sejak subuh hingga tengah ma­lam. ”Saya sudah 16 tahun di sini,” katanya. Warkop Cak Jefri di Alun-Alun Gresik digemari anggota dewan, PNS sekretariat dewan, dan masyarakat umum.

Menurut Budayawan Nizam Zuhri Khafid juga hobi ngopi, warkop dulu dan warkop sekarang beda. Dulu warkop dimanfaatkan kiai kampung dan penceramah agama untuk berinteraksi dengan masyarakat. ”Para tokoh masyarakat itu sering mendapatkan bahan ceramah ya ketika nong­krong di warkop itu,” kata mantan pembantu rektor I UMG tersebut.

Di warkop itu pula masyarakat bisa langsung ber­ko­munikasi dengan panutannya. Mereka bisa bicara soal agama hingga politik. ”Pembagian gono-gini pun dibicarakan di sini sambil ngopi,” tutur Nizam.

Sekarang obrolan di warkop meluas. ”Warkop sekarang bisa menjadi kantor para makelar motor, makelar mobil, atau makelar rumah,” tutur pria yang biasa minum lima cangkir kopi dalam sehari itu.

Di antara warga Gresik, efektivitas komunikasi di warung kopi memang diakui. Tak aneh, para politisi yang hendak maju dalam pemilihan bupati (pilbup) Gresik pada 26 Mei 2010 pun memanfaatkan warkop sebagai media untuk menjaring aspirasi dan dukung­an. Cabup PDIP-Gerindra Bambang Suhartono dan kandidat cabup independen Wahyuddin Husein, misalnya, merasa perlu melakukan road show dari warkop ke warkop. (yad/rif/ris/soe) : Dikutip dari berita Jawa Pos, minggu,13 Desember 2009

3 komentar:

  1. saifuddien sjaaf2 April 2011 pukul 04.05

    Yah, warung kopi - atau ya warung yang menyediakan makanan dan minuman untuk kebutuhan sehari-hari - sejak lama telah ada dan tumbuh berkembang guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

    Perkembangannya juga mengikuti jaman. Dulu yang berjualan menggunakan rumah atau memang warung untuk berjualan. SEbut saja Cak Majid dan Cak Nan di Pekelingan, Cak Wan di Karangpoh, seberang Pasar Sore, serta di Pasar Gresik ada beberapa yang terkenal, di Kebungson ada juga [penjualnya wanita tua] - yang salah satu pelanggan terkemukanya adalah Haji Mansur Zein.
    Cak Rokhim, muncul pada tahun 1970-an atau 1980-an, setelah dia turun kapal - tidak lagi layar [jadi pelaut].

    Sekarang sepertinya tumbuh mengikuti jaman, hanya sayang adakalanya menggunakan tempat publik sebagai tempat berdagang - seperti halnya yang saya temukan di ujung kampung Makam Londo.

    Warung kopi buka mulai subuh, hingga larut malam, ketika orang-orang selesai lembur membutuhkan "ganjelan" bagi perutnya.

    Walau mereka lembur sampai larut, setahu saya, bangunnya tetap pagi - setelah subuhan di langgar - lalu ngopi ke langganannya, sampai kemudian tiba saatnya untuk nyambutgawe lagi.

    Jadi ramenya warung kopi, ya waktu pagi sesudah subuh, antara maghrib sampai isya', dan kemudian setelah lebura menjelang tidur.

    Itu dulu, jaman sudah berubah. Lain Bangkahulu, Lain Semarang. Lain dahulu, lain sekarang.

    Di Pelabuhan, juga ada sederetan warung kopi, yang dikelola oleh anak-anak muda asal Dukun.

    Salam

    BalasHapus
  2. Saya prihatin, tradisi warung kopi di Gresik tercinta dinodai oleh adanya beberapa warung kopi plus2 yang lazim disebut Warung Kopi Pangku...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Bagaimana komentar/tanggapan anda?